My friend

My friend
Taruna Utama (Lapangan belakang gedung utama) Lembar 2008

Minggu, 19 Juni 2011

TEKNIK PEMBENIHAN IKAN

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK PEMBENIHAN IKAN

Oleh:
PUJI NUR PARIDI
C1K 008 063

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2011



HALAMAN PENGESAHAN

Laporan ini dibuat sebagai salah satu syarat lulus mata kulyah teknik pembenihan ikan.

Mataram, 10 Juni 2011

Mengetahui,
Asisten Praktikum,


ABDULLAH SADARUDDIN
C1K 007 001

Praktikan,


PUJI NUR PARIDI
C1K 008 063



1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Target produksi dapat berupa jumlah ikan yang dihasilkan (menghitung tingkat kelangsungan hidupnya) khususnya untuk sekuen kegiatan pembenihan dan dapat pula berupa bobot yang dihasilkan (menghitung biomassa). Penyediaan benih siap tebar yang bermutu dalam jumlah cukup dan kontinyu merupakan faktor penting dalam upaya pengembangan budidaya ikan. Oleh karena itu,benih harus tersedia dalam jumlah cukup dengan kualitas baik. Selain itu ketrsediaan benih harus murah dan tepat waktu. Benih yang baik mempunyai pertumbuhan yang cepat, bentuk badan normal, serta tahan terhadap serangan penyakit dan perubahan lingkungan
Berhasilnya usaha pembenihan sangat dipengaruhi oleh keadaan induk. Bila induk baik, benih yang dihasilkan pun akan banyak dan kualitasnya akan baik. Sebaliknya bila induk kurang baik, hasil benih hanya sedikit dan kualitasnya jelek. Oleh sebaba itu, induk yang digunakan harus diperoleh dari instansi perikanan atau pihak yang ditunjuk sebagai penyedia induk.
Tahap pembenihan tidak memerlukan kontruksi kolam khusus sehingga dengan cara sangat sederhana pun sudah dapat dilkukan sendiri dengan hasil yang cukup akan memuaskan. Ada banyak cara yang sering dilakukan dalam usaha pembenihan ikan salah satunya yaitu melalui usaha pembenihan dilabolatorium secara terkontrol maka segala permasalahan yang sering terjadi dalam usaha pembenihan atau produksi benih yang unggul dapat teratasi.
Merespon hal tersebut, pengetahuan mengenai teknik pembenihan secara detail dan terkontrol adalah sangat penting. Selain untuk meningkatkan produksi dengan teknologi-teknologi yang sudah ada, juga diharapkan adanya pengembangan teknologi baru sehingga dapat menjadi kekuatan baru dalam peningkatan produksi dan mengatasi permasalahan – pemasalahan yang ada dalam melakukan pembenihan.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan usaha-usaha yang mampu menghasilkan benih ikan unggul. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan merangsang kultivan dengan menggunakan hormone sehingga lebih cepat melakukan pemijahan dengan hasil yang baik dan berkualitas. Maka dari itu dilakukan praktikum tentang “Teknologi Pembenihan Ikan meliputi Seksualitas Primer dan Sekunder Pada Ikan, Pembuatan Kelenjar Pituitary, Fertilisasi Buatan, dan Perkembangan Telur”.

1.2 Tujuan Praktikum
Adapuan tujuan dari praktikum Teknologi penbenihan ikan adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui perbedaan antara ikan jantan dan ikan betina melalui pengamatan seksualitas primer dan sekunder ikan.
2. Mahasiswa diharapkan mampu menyediakan hormone GnRH (Gonadotropin-Releasing Hormone) dari ekstrak kelenjar pituitary.
3. Mahasiswa dapat mengenali induk ikan yang siap memijah.
4. Mahasiswa dapat mengetahui cara penyuntikan ikan
5. Mahasiswa dapat mengetahui teknik striping.
6. Mahasiswa dapat mengetahui teknik pencampuran telur dan prerma
7. Mahasiswa dapat mengetahui teknik inkubasi telur.
8. Mahasiswa mampu membedakan antara bentuk telur yang terbuahi dan tidak terbuahi.
9. Mahasiswa mampu mengetahui dan melihat perkembangan telur sejak fertilisasi hingga penetasan telur.

1.3 Manfaat Praktium
Adapun manfaat yang di dapat dalam pelaksanaan praktikum teknologi pembenihan ikan ini adalah mahasiswa dapat mengetahui dan memperaktikkan langsung tata cara pembenihan ikan secara buatan, yang diharapkan agar dapat di terapkan oleh siswa di dunia kerja. Selain itu juga siswa dapat membedakan ikan yang siap memijah, membedakan seksualitas primer dan seksualitas sekunder pada ikan, menyediakan hormone ekstrak kelenjar pituitary, melakukan fertilisasi buatan pada ikan, dan juga siswa dapat mengetahui stadia-stadia perkembangan telur ikan dari terjadiya fertilisasi hingga ikan menetas, dengan ini siswa dapat mengetahui saat yang tepat untuk ikan bisa di beri pakan awal sejak fertilisasi terjadi.



2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Identifikasi dan Taksonomi Ikan
2.1.1 Identifikasi dan taksonomi ikan komet
Menurut Linaeus (1758) Ikan Komet memiliki defenisi Taksonomi yang tergabung dalam:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Kelas : Teleostei
Ordo : Cypriniformes
Familia : Cyprinidae
Genus : Carasius
Species : Carasius auratus
Ikan komet termasuk ikan karper (Cyprinus carpio) dan memiliki nama latin Carassius auratus auratus, red. Karena berbuntut panjang dengan warna cerah inilah yang membuat ikan komet menuai popularitas dalam waktu singkat. Sempat tenggelam tapi kini mulai digandrungi penghobi ikan hias lagi. Ikan komet memiliki ciri-ciri antara lain:
1. Bentuk ikannya seperti maskoki tapi lebih panjang dan lebih agresif.
2. Warnanya juga seperti maskoki, tapi kebanyakan warna merah atau putih
3. Biasanya dipelihara di akuarium oleh orang hanya untuk pajangan
4. Banyak dijual oleh penjual ikan hias (Yuliati, 2010).
Sebagai ikan hias tentu saja ikan komet memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan ikan yang dikonsumsi. Misalnya, dilihat dari ekornya, ikan komet memiliki ekor yang lebih panjang dan indah daripada ikan pada umumnya. Ikan komet juga memiliki warna yang bagus yaitu perpaduan antara merah keoranyean dengan putih. Selain itu, ikan komet memiliki ketahanan tubuh yang lebih baik dibandingkan ikan maskoki (ikan komet merupakan strain atau keturunan ikan maskoki, red.). Perbedaan utama dengan ikan maskoki terletak di ukurannya yg lebih besar dari ikan mas dan adanya tonjolan daging (sungut) kecil di atas lubang hidungnya.
Ciri-ciri ikan betina : Umur telah mencapai +- 4 bulan .Bentuk badan membulat menandakan siap kawin. Gerakannya lambat. Sirip pendek dan warnanya tidak menarik.kondisi badan sehat. Ciri-ciri khas yang dimiliki oleh ikan komet jantan adalah selain warnanya yang indah, siripnya pun panjang dan menyerupai sisir serit, sehingga sering disebut cupang serit. Sedangkan ikan betina warnanya tidak menarik (kusam) dan bentuk siripnya lebih pendek dari ikan jantan. Ciri ikan jantan untuk dipijahkan :Umur ± 4 bulan. Bentuk badan dan siripnya panjang dan berwarna indah. Gerakannya agresif dan lincah. Kondisi badan sehat (tidak terjangkit penyakit) (Anonim,2010).

2.1.2 Identifikasi dan taksonomi ikan nila
Klasifikasi ikan nila menurut Patoeah (2010) adalah sebagai berikut:
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Crdo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
Menurut Suyanto (1998) dalam Hengky (2011), ciri-ciri yang dapat membedakan antara benih ikan nila jantan dan betina adalah sebagai berikut :
a. Sisik nila jantan lebih besar daripada nila betina.
b. Alat kelamin jantan berupa satu lubang di papila yang berfungsi sebagai muara urine dan sperma, sedangkan alat kelamin betina terdiri dari dua lubang yang juga terletak di papila. Salah satu lubang untuk muara urine dan yang lain untuk pengeluaran telur.
c. Sisik bawah dagu dan perut ikan nila jantan berwarna gelap, sedangkan pada nila betina berwarna putih atau cerah.
d. Sirip punggung dan sirip ekor ikan nila jantan bergaris hitam yang terputus-putus, sedangkan nila betina bergaris-garis tidak terputus-putus.

2.1.3 Identifikasi dan taksonomi ikan bawal
Klasifikasi ikan bawal adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Cachama
Order : Characiformes
Family : Characidae
Subfamily : Serrasalminae
Genus : Colossoma
Species : Colossoma macropomum (Anonim, 2011).
Membedakan bawal jantan dan betina pada saat masih kecil memang sulit. Beberapa tanda yang bisa dilihat adalah bawal betina memiliki tubuh yang lebih gemuk, sedangkan bawal jantan selain lebih langsing, warna merah pada perutnya lebih menyala. Apabila sudah matang gonade, perut betina akan terlihat gendut dan gerakannya lamban. Adapun bawal jantan selain agresif juga akan mengeluarkan cairan berwarna putih susu bila dipijat ke arah anus. Seperti ikan lainnya, bawal pun biasanya memijah pada awal dan selama musim hujan. Di Brazil dan Venezuela, kejadian itu terjadi pada bulan Juni dan Juli. Adapun di negara-negara lainnya, bawal dapat mengikuti musim yang ada, misalnya di Indonesia kematangan gonad bawal terjadi pada bulan Oktober sampai April (Bowser, 1999).
Sebelum musim pemijahan tiba, induk yang sudah matang akan mencari tempat yang cocok untuk melakukan pemijahan. Daerah yang paling disukai adalah hulu sungai yang biasanya pada musim kemarau kering, sedangkan pada musim hujan tergenang. Daerah yang seperti ini memberikan rangsangan dalam memijah.
Saat pemijahan berlangsung, induk jantan akan mengejar induk betina. Induk betina kerap kali akan membalas dengan cara menempelkan perut ke kepala induk jantan. Apabila telah sampai puncaknya, induk betina akan mengeluarkan telur dan induk jantan akan mengeluarkan sperma. Telur yang telah keluar akan dibuahi dalam air (di luar tubuh).
2.1.4 Identifikasi dan taksonomi ikan karper
Taksonomi ikan karper adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Familia : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus carpio
Secara morfologis, ikan karper mempunyai bentuk tubuh agak memanjang dan memipih tegak. Mulut terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan. Bagian anterior mulut terdapat dua pasang sungut berukuran pendek. Secara umum, hampir seluruh tubuh ikan karper ditutupi sisik dan hanya sebagian kecil saja yang tubuhnya tidak ditutupi sisik. Sisik ikan karper berukuran relatif besar dan digolongkan dalam tipe sisik sikloid berwarna hijau, biru, merah, kuning keemasan atau kombinasi dari warna-warna tersebut sesuai dengan rasnya (Anonim, 2011).
Ciri-ciri ikan betina yang siap pijah adalah: (secara sederhana)
• Pergerakan ikan lamban
• Pada malam hari sering meloncat-loncat
• Perut membesar/buncit ke arah belakang dan jika diraba terasa lunak
• Lubang anus agak membengkak/menonjol dan berwarna kemerahan
Sedangkan untuk ikan jantan mengeluarkan sperma (cairan berwarna putih) dari lubang kelamin bila di stripping (Anonim, 2011).

2.2 Teknik Pembenihan Ikan
2.2.1 Pembenihan ikan karper
Rangsangan pemijahan yaitu dengan pemberian sejumlah substrat penempelan telur. Dengan adanya substrat untuk penempelan telur, induk akan terangsang untuk memijah. Substrat yang digunakan adalah eceng gondok dan kabomba maupun tanaman air lainnya. Petani tidak menggunakan kakaban karena saat terjadi pemijahan ikan koi akan bergerak lebih agresif sehingga jika menggunakan kakaban dari bahan ijuk akan melukai atau merusak sisik induk ikan koi yang sedang memijah. Induk yang sisiknya rusak atau tubuhnya mengalami luka akan rentan terserang penyakit (Firdaus, 2010).
Selain itu, induk yang tubuhnya mengalami kerusakan, dari segi harga jual kembali akan mengalami penurunan yang drastis. Berdasarkan wawancara dengan petani, diketahui bahwa pada musim hujan ikan koi lebih sering melakukan pemijahan. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh suhu lingkungan, bau tanah, rintikan air hujan, pH, dan pengaruh lingkungan lainnya. Oleh karena itu, kegiatan pembenihan ikan koi di daerah ini banyak dilakukan pada bulan September sampai Februari. Pemijahan ikan koi dilakukan dengan perbandingan satu ekor induk betina dengan dua atau tiga ekor induk jantan. Bila induk jantan berukuran besar cukup satu banding satu (Firdaus, 2010).
Namun, perbandingan ini cukup beresiko. Jika induk jantan tersebut tidak mengeluarkan sperma, maka pemijahan gagal dilakukan. Pemilihan varietas induk jantan dan betina sangat mempengaruhi varietas benih yang akan dihasilkan. Maka, jika ingin menghasilkan varietas anak tertentu harus mengetahui kombinasi yang tepat antara varietas jantan dan betinanya. Petani mengetahui kombinasi tersebut berdasarkan trial and error dan pengalaman dari petani lainnya. Disarankan untuk tidak menggunakan stok induk yang paling baik saat memijahkan induk karena keturunannya belum tentu sebaik induknya. Sebaiknya yang dipijahkan adalah induk yang biasa saja, tetapi masih memiliki sifat-sifat unggul, seperti warnanya pekat. Pada saat seleksi benih, nantinya dapat dipilih benih yang bagus dan benih yang afkir (Anonim, 2011).
Induk yang telah dipilih kemudian dimasukkan ke dalam kolam pemijahan pada sore hari, antara pukul 16-17, saat kondisi udara sejuk (tidak terlalu panas) dan biasanya induk akan memijah pada saat maghrib atau menjelang tengah malam (antara pukul 22 malam) hingga fajar (sekitar pukul 4 sampai 5 pagi). Tingkah laku pemijahan ikan koi tidak berbeda dengan ikan mas biasa. Sejak induk dimasukkan ke dalam kolam pemijahan, induk jantan akan langsung mengejar-ngejar dan menempelkan badannya pada induk betina (Firdaus, 2010).
Induk betina yang memiliki respons baik, saat pemijahan akan berenang ke arah substrat sembari melepaskan telurnya, lalu diikuti induk jantan di belakangnya sembari mengeluarkan sperma. Telur yang keluar tadi akan menempel pada substrat. Kejar-kejaran ini berlangsung terus hingga pemijahan selesai, sekitar pukul 4 sampai 5 pagi. Induk yang selesai memijah akan berhenti berkejar-kejaran dan berenang ke tepi kolam. Kolam akan berbau amis hasil dari pemijahan. Perut induk betina juga akan terlihat mengempis. Bila pemijahan telah selesai, induk harus segera diangkat dan dikembalikan ke kolam pemeliharaan induk karena dikhawatirkan induk akan memakan telurnya sendiri (Firdaus, 2010).
Dalam pemijahan, ikan dirangsang dengan cara membuat lingkungan perairan menyerupai keadaan lingkungan perairan umum dimana ikan ini memijah secara alami atau dengan rangsangan hormon. Sehubungan dengan hal itu, maka langkah-langkah dalam pemijahan ikan mas adalah :
• Mencuci dang mengeringkan wadah pemijahan (bak/kolam)
• Mengisi wadah pemijahan dengan air setinggi 75-100 cm
• Memasang hapa untuk mempermudah panen larva di bak atau di kolam dengan ukuran 4 x 3 x 1 meter. Hapa dilengkapi dengan pemberat agar tidak mengambang.
• Memasang kakaban di tempat pemihajan (dalam hapa). Kakaban dapat berupa ijuk yang dijepit bambu/papan dengan ukuran 1,5 x 0,4 m.
• Memasukkan induk jantan dan betina siap pijah. Jumlah induk betina yang dipijahkan tergantung pada kebutuhan benih lepas hapa dan luas kolam yang akan digunakan dalam pendederan 1. Bobot induk jantan sama dengan induk betina namun dengan jumlah yang lebih banyak
• Mengangkat induk yang memijah dan memindahkannnya ke kolam pemeliharaan induk (Anonim, 2011).

2.2.2 Fertilisasi alami dan buatan ikan karper
Menurut Anonim (2011) saat ini dikenal dua macam sistim pemijahan pada budidaya ikan mas
a. Fertilisasi alami/Sistim pemijahan tradisional
Dikenal beberapa cara melakukan pemijahan secara tradisional, yaitu:
Cara sunda: (1) luas kolam pemijahan 25-30 meter persegi, dasar kolam sedikit berlumpur, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukkan pada sore hari; (2) disediakan injuk untuk menepelkan telur; (3) setelah proses pemijahan selesai, ijuk dipindah ke kolam penetasan.
Cara cimindi: (1) luas kolam pemijahan 25-30 meter persegi, dasar kolam sedikit berlumpur, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukan pada sore hari; kolam pemijahan merupakan kolam penetasan; (2) disediakan injuk untuk enepelkan telur, ijuk dijepit bambu dan diletakkan dipojok kolam dan dibatasi pematang antara dari tanah; (3) setelah proses pemijahan selesai induk dipindahkan ke kolam lain; (4) tujuh hari setelah pemijahan ijuk ini dibuka kemudian sekitar 2-3 minggu setelah itu dapat dipanen benih-benih ikan.
Cara rancapaku: (1) luas kolam pemijahan 25-30 meter persegi, dasar kolam sedikit berlumpur, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukan pada sore hari; kolam pemijahan merupakan kolam penetasan, batas kolam terbuat dari batu; (2) disediakan rumput kering untuk menepelkan telur, rumput disebar merata di seluruh permukaan air kolam dan dibatasi pematang antara dari tanah; (3) setelah proses pemijahan selesai induk tetap di kolam pemijahan.; (4) setelah benih ikan kuat maka akan berpindah tempat melalui sela bebatuan, setelah 3 minggu maka benih dapat dipanen.
Cara sumatera: (1) luas kolam pemijahan 5 meter persegi, dasar kolam sedikit berlumpur, kolam dikeringkan lalu diisi air pada pagi hari, induk dimasukan pada sore hari; kolam pemijahan merupakan kolam penetasan, (2) disediakan injuk untuk enepelkan telur, ijuk ditebar di permukaan air; (3) setelah proses pemijahan selesai induk dipindahkan ke kolam lain; (4) setelah benih berumur 5 hari lalu pindahkan ke kolam pendederan.
b. Fertilisasi buatan/Sistim kawin suntik
Pada sisitim ini induk baik jantan maupun betina yang matang bertelur dirangsang untuk memijah setelah penyuntikan ekstrak kelenjar hyphofise ke dalam tubuh ikan. Kelenjar hiphofise diperoleh dari kepala ikan donor (berada dilekukan tulang tengkorak di bawahotak besar). Setelah suntikan dilakukan dua kali, dalam tempo 6 jam induk akan terangsang melakukan pemijahan. Sistim ini memerlukan biaya yang tinggi, sarana yang lengkap dan perawatan yang intensif.

2.2.3 Perkembangan dan penanganan telur ikan lele
Penetasan merupakan perubahan intracapsular ( tempat yang terbatas ) ke fasekehidupan, hal ini penting dalam perubahan – perubahan morfologi hewan.Penetasan merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapaproses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan terjadi karena kerjamekanik dan kerja enzimatik. Kerja mekanik disebabkan embrio seringmengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkangnya atau karena embrio lebih panjang dari lingkungannya dalam cangkang. Kerja enzimatik merupakan enzim atau unsur kimia yang disebut chorion dikeluarkan olehkelenjar endodermal didaerah parink embrio. Gabungan kerja mekanik dan kerjaenzimatik menyebabkan telur ikan menetas.
Faktor luar yang yang berpengaruh terhadap penetasan telur ikan adalah suhu,oksigen terlarut,pH, salinitas dan intensitas cahaya. Proses penetasan umumnyaberlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi karena pada suhu yangtinggi proses metabolismo berjalan lebih cepat sehingga perkembangan embrioakan lebih cepat yang berakibat lanjut pada pergerakan embrio dalam cangkangyang lebih intensif. Namur demikian, suhu yang terlalu tinggi atau berubahmendadakdapat menghambat proses penetasan dapat menyebabkan kematian embrio dan kegagalan penetasan. Suhu yang baik untuk penetasan ikan 27 – 30 oC
Kelarutan oksigen terlarut dan intensitas cahaya akan mempengaruhi prosespenetasan. Oksigen dapat mempengaruhi sejumlah organ embrio. Cahaya yangkyat dapat menyebabkan laja penetasan yang cepat, kematian dan pertumbuhanembrio yang jelek serta figmentasi yang banyak yang berakibat padaterganggunya proses penetasan.
Menurut Nelson dalam Sumantadinata (1983), proses pembelahan sel pada binatang bertulang belakang meliputi :
• Cleavage: Pembelahan zygote secara cepat menjadi unit-unit yang lebih kecil yang di sebut blastomer.
• Blastulasi: Proses yang menghasilkan blastula yaitu campuran sel-selblastoderm yang membentuk rongga penuh cairansebagai blastocoel. Pada akhir blastulasi, sel-selblastoderm akan terdiri dari neural, epidermal,notochordal, meso-dermal, dan endodermal yangmerupakan bakal pembentuk organ-organ.
• Glastrulasi: Proses pembelahan bakal organ yang sudah terbentuk pada saat blastulasi.
• Organogenesis:Proses pembentukan berbagai organ tubuh berturut-turutbakal organ-organ antara lain susunan syaraf, notochord,mata, somit, lateralis, jantung, aorta, insang, infudibulumdan lipatan-lipatan sirip (Balinsky, 1948 dalamSumantadinata (1983).

a. Cara Penetasan Telur Ikan
Teknik penetasan telur beberapa jenis ikan berbeda-beda sesuai dengan sifattelurikan. Telur ikan mas, lele,patin menempel pada substrat kemudianditetaskan di wadah penetasan. Sedangkan telur ikan nila, banal ditetaskanmelayang-layang di wadah penetasan.
Penetasan telur ikan lele, mas yang dipijahkan secara semi buatan maupun alami dilakukan dengan memisahkan induk dan telur. Setelah induk selesai memijah,telur lele dumbo maupun ikan mas yang menempel di substart(kakaban) diangkat untuk ditetaskan di bak penetasan. Induk ikan yang telahselesai memijah harus ditangkap dan dikembalikan lagi ke kolam pemeliharaaninduk. Bak penetasan telur dapat berupa kolam tembok, fiberglas kolam dansebagainya. Bak penetasan diisi air bersih setinggi 30 – 50 cm. Air bisa berasalsumur pompa, sumur timba atau sumber air lainnya, yang penting air tersebuttidak mengandung kaporit atau zat kimiaberbahaya lainnya.
Seluruh telur yang ditetaskan harus terendam air, tentunya proses inimemerlukan kakaban. Kakaban yang penuh dengan telur diletakan terbaliksehingga telur menghadap ke dasar bak. Dengan demikian telur akan terendamair seluruhnya. Telur yang telah dibuahi berwarna kuning cerah kecoklatan,sedangkan telur yang tidak dibuahi berwarna putih pucat. Di dalam prosespenetasan telur diperlukan suplai oksigen yang cukup. Untuk memenuhikebutuhan akan oksigen terlarut dalam air, setiap bak penetasan di pasang aerasi.
Pada beberapa telur ikan waktu penetasan berbeda-beda. Telur akan menetastergantung dari suhu air bak penetasan dan suhu udara. Jika suhu semakinpanas, telur akan menetas semakin cepat. Begitu juga sebaliknya, jika suhurendah, menetasnya semakin lama. Telur ikan lele dumbo, ikanpatin dan bawalakan menetas menjadi larva antara 18 –24 jam dari saat pembuahan.Sedangkan telur ikan ikan mas menetasa setelah 36 – 48 jam dari pembuahan.Sumantadinata (1983) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetastelur adalah :
1. Kualitas telur. Kualitas telur dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan pada induk dan tingkat kematangan telur.
2. Lingkungan yaitu kualitas air terdiri dari suhu, oksigen, karbon-dioksida, amonia, dll.
3. Gerakan air yang terlalu kuat yang menyebabkan terjadinya benturan yang keras di antara telur atau benda lainnya sehingga mengakibatkan telur pecah.
Blaxter dalam Sumantadinata (1983), penetasan telur dapat disebabkan oleh gerakan telur, peningkatan suhu, intensitas cahaya atau pengurangan tekanan oksigen. Dalam penekanan mortalitas telur, yang banyak berperan adalah faktor kualitas air dan kualitas telur selain penanganan secara intensif.

b. Langkah Menetaskan Telur Ikan
Adapun langkah langgkah menetaskan telur adalah :
1. Siapkan kolam penetasan, bersihkan dan keringkan.
2. Airi kolam penetasan dengan kedalaman 40 cm.
3. Angkat kakaban berisi telur dan cuci dengan cara menggoyang- oyangkan kakaban tersebut.
4. Amati warna telurnya.
5. Pindahkan kakaban yang berisi telur ke dalam kolam penetasan dengan kedalaman 10 cm. Usahakan kakaban tenggelamPasang aerator bila perlu.
6. Aerator tidak perlu besar.
7. Pindahkan Induk ikan yang berada di dalam kolam pemijahan ke dalam kolam induk.
8. Amati kapan telur mulai menetas.
9. Perkirakan berapa persen derajat penetasanya.
10. Apabila telur telah menetas semua, angkat kakaban, cuci dan keringkan untuk disimpan kembali.
Air merupakan kebutuhan mutlak bagi ikan sebagai media tempat hidup. Namun demikian, tidak semua air dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan airtawar. Sumber air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan air tawar harusmemenuhi persyaratan parameter fisika, kimia maupun biologi.Sifat fisika air merupakan tempat hidup dan menyediakan ruang gerak.Sifat kimia merupakanpenyedia unsur hara, vitamin, mineral, gas-gas terlarut dan sebagainya, sifatbiologi air merupakan media untuk kegiatan biologis dalam pembentukan danpenguraian bahan-bahan organik. Sehingga kondisi ketiga hal tersebut harussesuai dengan persyaratan untuk hidup dan berkembangnya ikan yang dipelihara.
Parameter kualitas air yang baik untuk pertumbuhan kan lele adalah sebagai berikut:
1. Oksigen terlarut = lebih dari 3 mg / L, lebih disukai 5 mg / L, atau lebih.
2. Total Amonia Nitrogen - Selain suhu air dan pH, diperlukan untuk menentukan-terionisasi un amonia (NH 3) konsentrasi.
3. Un-terionisasi Amonia (NH 3) = kronis atau masalah jangka panjang 0,06 mg / L. Akut atau jangka pendek kematian 0,6 mg / L
4. pH = 6,5-9,0 Mempengaruhi konsentrasi NH 3
5. Klorida = 30 mg / L atau lebih, yang diperoleh dari garam batu
6. Nitrit (NO 2) = Konsentrasi harus kurang dari 10 kali klorida dalam air. Contoh: nitrit adalah 0,5 mg / L, klorida harus minimal 5 mg / L.
7. Alkalinitas Total = 50 -150 mg / L kemampuan air untuk buffer perubahan pH
8. kekerasan = 50-150 mg / L jumlah kandungan mineral kalsium dan magnesium dalam air
9. Karbon Dioksida (CO 2) = kurang dari 10 mg / L, aerator lari untuk mengusir CO 2 yang berlebihan.
10. Suhu air: Suhu air ideal bagi = 85 o F lele (30 o C)



3. METODE PELAKSANAAN
3.1 Tempat dan Waktu
Kegiatan praktikum in di lakukan pada tanggal 28 hingga 30 Mei 2011 di Lingsar-Lombok Barat.

3.2 Metode Pengumpulan Data
Metode yang di gunakan dalam Praktikum ini adalah Metode Deskriftif yaitu memberi gambaran secara lengkap, sistematis, dan faktual mengenai data atau kegiatan yang tidak terbatas pada pengumpulan dan pengusunan data semata, tetapi juga meliputi analisis dan pembahasan data yang di peroleh sehingga dapat memberikan informasi lengkap tentang teknik Pembenihan Ikan yang meliputi: seksualitas primer dan sekunder pada ikan nila, ikan komet, dan ikan bawal, serta pemijahan buatan terhadap ikan karper dan perkembangan telur ikan lele.

3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara : 1). Observasi lapangan; 2). Partisipasi langsung; 3). Wawancara; dan 4). Studi litelatur. Data yang dikumpulkan berupa data primer yaitu data y di ambil dari sumbernya secara langsung, diamati dan di catat untuk pertama kalinya dan data sekunder yaitu informasi yang telah di kumpulkan dari pihak lain seperti dosen, asisten dosen, dan masyarakat yang terkait pada bidang perikanan, khususnya bidang pembenihan ikan.

3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Seksualitas primer dan sekunder ikan
Adapun prosedur kerja di dalam pengamatan seksualitas primer dan sekunder adalah sebagai berikut:
1. Pengamatan seksualitas sekunder
Untuk pengamatan seksualitas sekunder pertama-tama disediakan 3 buah akuarium yang telah di isi dengan air tawar, kemudian dimasukkan masing-masing sepasang jenis ikan (ikan komet, bawal, dan nila) ke setiap akuarium. Masing-masing ikan yang terdapat di akuarium diamati dan dicatat sebanyak mungkin perbedaannya antara lain: warna ikan atau pola warna, bentuk tubuh, bentuk sirip, dan morfometrik masing-masing ikan.
2. Pengamatan seksualitas primer
Untuk pengamatan seksualiatas primer dilakukan pengamatan dengan cara masing-masing ikandiangkat setelah dilakukan pengamatan seksualitas sekunder dan diamati alat kelaminnya. Dicatat perbedaan bentuk alat klamin, jumlah saluran pengeluaran, dan warna kelamin sebanyak mungkin. Selanjutnya dilakukan pembedahan dan diamati serta digambar bentuk gonad dan dilanjutkan dengan mengamati bagian dalam atau isi gonad.

3.4.2. Pembuatan ekstrak kelenjar pituitary
Adapun prosedur kerja yang dilakukan di dalam pembuatanekstrak kelenjar pituitary adalah pertama-tama disiapkan alat dan bahan yang di butuhkan. Sebelum menentukan jumlah ikan donor ikan resipien di timbang terlebih dahulu (ikan donor 3 kg : ikan resipien 1 kg). setelah berat ikan resipien di ketahui baru diambil ikan donor tiga kalilipat berat ikan resipien dan selanjutnya dipotong kepala ikan donor sampai putus pada tepi operculum.
Diletakan kepala ikan yang telah di potong dengan posisi mulut menghadap ke atas, lalu sayat mulai dari dekat lubang hidung ke bawah. Tengkorak ikan dibuka agar otak dapat terlihat dengan jelas. Lemak, darah atau jaringan-jaringan yang biasanya menutupi otak dibersihkan dengan menggunakan kapas atau kertas tissue, lalu angkat otak tersebut. Biasanya kelenjar hopopisa tertinggal pada sela tursica berbentuk bulat kecil berwarna putih.
Kelenjar hipopisa tersebut diambil secara hati-hati dengan menggunakan pinset, lalu dipindahkan ke cawan petri. Setelah diperhatikan dan diyakini bahwa itu benar kelejar hipopisa baru di pindah kan ke tabung reaksi dan dihancurkan dengan penggerus jaringan dengan cara memutarkan batang alurnya sambil di tekan dan sambil diberi NaCl 9% sekitar 0,2 ml. Setelah benar-benar hancur, ditambahan lagi akuades sehingga menjadi 1-1,5 ml atau tergantung kebutuhan (jangan lebih dari 5 ml). Dibiarkan hingga jaringan-jaringan kasar mengendap, sebagai hasilnya di peroleh suspense yang agak jernih dan siap di gunakan. Suspensi yang jernih tersebut diambil dengan menggunakan jarum spuit sesuai dosis yang di butuhkan.

3.4.3. Fertilisasi buatan
Adapun metode yang di laksanakan dalam praktikum pertilisasi buatan adalah: pertama-tama induk betina yang siap di suntik diambil dan diamati bentuk warna alat kelaminnya. Dengan halus ditekan bagian genital dan diperhatikan terdapat telur atau tidak.
Larutan hormone buatan yang bersala dari ekstrak kelenjar pituitary (1 resipien : 3 ikan donor) atau ovaprim (0,5 ml/kg induk) diambil sesuai dosis yang akan digunakan. Hormone tersebut disuntikkan pada bagian punggung sebelah kanan. Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali dengan dosis 70:30), kemiringan alat suntik adalah 45o mengarah ke kepala. Setelah enam jam kemudian dilakukan penyuntikan ke dua, bagian yang di suntika adalah bagian punggung yang sebelah kiri, dibiarkan selama enam jam kemudian pastika bahwa ikan siap distriping.
Alat kelamin ditekan dan perhatikan cairan yang keluar. Perhatikan posisi inti telur dengan menggunakan kaca pembesar maupun lup. Jika posisi nti sudah berada pada bagian pnggir, maka striping dapat di lakukan.

1. Striping telur ikan karper
Sebelum melakukan striping permukaan tubuh ikan di lap agar tidak ada air yang menetesdan tangan operator juga haris dalam keadaan kering.
Kepala induk ikan dipegang (menutupi kepala) dengan bantuan lap. Tangan kiri memegang kepala ikan dan tangan kanan melakukan pengurutan perut ikan. Dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah, menekan dan mengurut perut ikan mulai dari belakang kepala kea rah dubur. Telur yang terkumpul di tamping di dalam baskom atau mangkuk. Pengurutan di ulang 2-5 kali hingga telurnya keluar semua.
2. Pengambilan sperma
Striping sperma ikan karper dilakukan sama seperti striping telur. Sedangkan striping sperma pada ikan lele harus melalui pembedahan. Induk ikan lele jantan diambil dan kemudian dipotong kepalanya. Dengan menggunakan gunting, perut lele jantan di gunting sepanjang perut bawah badannya, untuk mengeluarkan usus dan isi perut lainnya. Kantong sperma (gonad jantan/testis) diambil dan disimpan dalam cawan. Kantong sperma di potong dan kemudian diurut supaya sperma keluar.
Sperma yang telah di dapatkan kemudian dituang dalam mangkuk yang telah berisi telur sambil di aduk perlahan-lahan sampai tercampur merata (kurang lebih 45 detik). Untuk mengencerkan campuran telur dan seperma tersebut ditambahkan aquades, sambil di aduk (kurang lebih 1 menit). Pengadukan dilakukan dengan cepat dan halus. Untuk mengetahui jumlah telur dilakukan cara sebagai berikut :a). Diukur volume campuran tersebut, dan kemudian diambil telur 1 ml dan dihitung jumlahnya. b). Konversi hasil hitungan dengan volume telur.
Khusus untuk telur ikan lele dapat langsung di sebar ke dalam akuarium/hapa yang telah di beri kakaban sebagai tempat penempelan telur. Sedangkan untuk telur ikan karper masih harus diberi perlakuan untuk mencegah agar telur tidak saling menenpel yaitu dengan cara: pertama-tama disiapkan larutan 20 liter yang telah diberi 4 gr5 NaCl g/L + 20 g/L air lalu dimasukkan telur dan kemudian diaduk selama 10 menit. Pengadukan dilakukan dengan sangat hati-hati selama 10 detik selama 2 menit. Setelah 1 jam telur dimasukkan ke dalam hapa penetasan.

3.4.4 Perkembangan telur
Adapun metode yang dilakukan saat mengamati perkembangan telur adalah: Sempel telur diambil dari akuarium lalu diamati dengan mikroskop setiap 15 menit selama 6 jam dan digambar setiap perkembangannya. Setelah 6 jam pengamatan dilakukan 1 jam sekali sampai telur menetas dan di gambar setap perkembangannya.

3.5 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam paktikum Teknologi Pembenihan ikan ini adalah sebagai berikut:

3.5.1 Aalat-alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam menjalankan praktikum adalah: akuarium, alat bedah, lup, mikroskop, penggerus jaringan (tissue grinder), tabung reaksi, timbangan duduk, pipet tetes, talenan, pendingin/coolbox, petri dish, lap halus, mangkok porcelain/kaca, kekaban, bulu ayam, aerator, dan suntikan.

3.5.2 Bahan-bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan di dalam praktikum ini adalah: ikan karper, ilan komet, ikan nila, ikan bawal, ikan lele (masing-masing 1 pasang), ikan donor berupa ikan karper 3 ekor, aquades/larutan fisiologis (NaCl 0,65%), tissue, dan ovaprim.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Seksualitas Primer dan Sekunder Ikan
Ikan bawal P/L(cm) Seksualitas sekunder Seksualitas primer kesimpulan
A 11,5/6,3 • Warna lebih cerah
• sirip dada kekuningan,
• operculum kemerah kekningan
• bentuk operculum kecil
• sirip dubur lebih kecil • Alat kelamin warna putih
• 1 lubang pada alat kelamin
• Sperma pada dalam gonad jantan
B 12,5/6,7 • Warna lebih gelap
• Sirip dada kemerahan
• Operculum kemerahan
• Bentuk operculum besar
• Sirip dubur lebih besar • alat kelamin warna putih
• 1 lubang pada alat kelamin
• Sperma pada dalam gonad jantan
C 9,6/5,3 • warna gelap
• ukuran kecil
• bintik hitam pada operculum • alat kelamin warna putih
• satu lubang pada alat kelamin
• sperma pada dalam gonad jantan

Ikan komet P/L(cm) Seksualitas sekunder Seksualitas primer Kesimpulan
A 8,8/3,9 • Warna lebih cerah
• Ukuran besar
• Perut buncit
• Warna ekor putih
• Bagian dagu lebih putih
• Operclum lebih halus • Alat kelamin warna putih
• Satu lubang pada saluran alat kelamin jantan
B 8,2/3,7 • Warna agak gelap
• Bentuk badan kecil
• Perut agak ramping
• Warna ekor merah
• Bagian dagu agak kekuningan
• Operculum kasar • Warna alat kelamin putih
• Satu lubang pada saluran alat kelamin jantan

Ikan nila P/L(cm) Seksualitas sekunder Seksualitas primer kesimpulan
A 15/6,6 • Warna agak gelap
• Dari dagu sampai perut agak gelap
• Ekor lebih cerah dan lebar
• Operculum lebih gelap
• Bentuk perut ramping • Warna alat kelamin merah
• Saluran alat kelamin 2
• Bagian dalam gonad sperma jantan
B 14,5/6,7 • Warna lebih cerah
• Dari dagu sampai perut cerah
• Ekor lebih kecil dan gelap
• Operculum lebih cerah
• Perut buncit • Warna alat kelamin merah
• Memiliki 2 lubang pada saluran alat kelamin jantan

Seksual primer merupakan alat atau organ yang berhubungan langsung dengan proses reproduksi, seperti: Testis dan salurannya pada ikan jantan dan Ovarium dan salurannya pada ikan betina. Sedangkan Seksual sekunder merupakan ciri seksual yang terlihat dari luar tubuh ikan, meskipun kadangkala tidak memberikan hasil yang nyata. Ciri seksual sekunder terdiri dari 2 jenis :
1. Tidak berhubungan dengan kegiatan reproduksi
Contoh:
• Bentuk tubuh
• Sirip ekor
• Warna tubuh
2. Alat bantu Pemijahan
Contoh:
• Gonopodium pada ikan seribu (Lebistes reticulatus)
• Modifikasi sirip dada heteorchir pada Xenodexia untuk memegang gonopodium pada kedudukannya sehingga memudahkan masuk ke oviduct betina
• Sirip perut yg termodifikasi menjadi myxopterygium (clasper) pada Elasmobranchii menjamin fertilisasi internal
• Tenaculum semacam clasper yang terdapat pada bagian atas kepala pada ikan Chimera
• Ovipositor pada ikan Rhodes amarus dan Careproctus
Namun, apabila satu spesies ikan dibedakan jantan dan betinanya berdasarkan perbedaan warna, maka ikan itu bersifat seksual dikromatisme. Pada umumnya ikan jantan mempunyai warna yang lebih cerah dan lebih menarik dari pada ikan betina.Pada dasarnya sifat seksual sekunder dapat dibagi menjadi dua yaitu : a) Sifat seksual sekunder yang bersifat sementara, hanya muncul pada waktu musim pemijahan saja. b) Sifat seksual sekunder yang bersifat permanent atau tetap, yaitu tanda ini tetap ada sebelum, selama dan sesudah musim pemijahan.
Dari hasil praktikum tentang seksualitas primer dan sekunder menggunakan bahan berupa ikan bawal, ikan komet, dan ikan nila yang telah di laksanakan didapatkan hasil seperti pada table di atas. Pada table di atas dapat di lihat pada pengamatan ikan bawal ukuran dari ke-3 bawal tersebut berbeda, hal ini kemungkunan di sebabkan oleh factor lingkungan ataupun persaingan makanan pada saat budidaya karena dari segi ukuran tersebut praktikan masih belum bias menentukan jenis kelamin ikan bawal.pada kolom pengamatan seksualitas sekunder praktikan mulai menduga-duga jenis kelamin ikan bawal, yaitu ikan bawal B berjenis kelamin betina karena warna lebih gelap, sirip dada kemerahan, operculum kemerahan, bentuk operculum besar, sirip dubur lebih besar. Hal yang menguatkan dugaan adalah warna surup dada dan overculum yang kemerahan lebih menonjol dari yang lainnya dan juga bentuk overculum yang lebih besar. Namun pada saat pengamatan seksualitas primer didapatkan alat kelamin berwarna putih, terdapat satu lubang kelamin, dan terdapat sperma di dalam gonad, sehingga dugaan awal tidak dapat di gunakan karena dari ketiga ikan bawal tersebut seluruhnya adalah jantan karena semuanya memiliki sperma di dalam gonadnya.
Begitu pula pada spesies ikan komet dan nila pada awalnya praktikan mengira keduanya saling berpasangan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara ikan komet A dan B yaitu pada warna ikan komet A lebih cerah dari ikan komet B dan juga overculum A lebih halus dari overculum B. Namun pada saat pemeriksaan seksualitas primer pada keduanya ditemukan warna alat kelamin putih dan terdapat 1 lubang saluran kelamin sehingga menjelaskan bahwa ke-2 ikan komet tersebut adalah jantan. Pada ikan nila juga yang menimbulkan dugaan ikan nila tersebut adalah satu pasang adalah bentik perik ikan nila A yang ramping dan bentuk perut ikan nila B yang buncit. Namun pada saat pemeriksaan seksualitas primer didapatkan hasil pada ke-2 ikan nila tersebut berupa warna alat kelamin merah, terdapat 2 saluran alat kelamin dan yang paling inti adalah terdapatnya sperma pada gonad sehingga menjelaskan ke-2 nila tersebut adalah jantan.

4.2 Fertilisasi Buatan
Parameter Ikan mas
Berat induk jantan atau betina 0,8 kg
Kesiapan induk untuk di suntik Tidak ada cairan atau telur yang keluar
Gambar telur
Jenis dan volume serta waktu penggunaan hormone Hormon ovaprim sebanyak 0,5 ml
Penyuntikan 1.) 0,375 ml (jam 12.30 wita)
Penyuntikan 2.) 0,125 ml (jam 18.30 wita)
Waktu fertilisasi Jam 00.30 wita

Pada fertilisasi buatan dilakukan dengan cara melakukan pengurutan atau striping pada perut ikan karper betina yang telah di suntik dengan larutan ovaprim, penyuntikan dilakukan dengan menggunakan ovaprim karena pada saat praktikum tidak dapat dihasilkan kelenjar hipopisa untuk penyuntikan. Sebelum dilakukannya penyuntika ikan resipien ditimbang terlebih dahulu dan didapatkan hasil dengan berat 0,8 kg. Pada saat dilakukan striping untuk memastikan telur ikan pada vase siap akan tetapi telur tidak ada yang keluar, cairan juga tidak ada yang keluar.
Untuk penyuntikan ikan karper dengan berat 0,8 kg digunakan hormone ovaprim sebanyak 0,5 ml. Penyuntikan dilakukan 2 kali yaitu pada penyintikan pertama pada jam 12.30 wita dengan dosis 0,375 ml di bagian punggung ikan sebelah kanan, selanjutnya ikan dikembalikan ke kolam. Penyuntikan kedua dilakukan pada jam 18.30 wita dengan dosis hormone pituitary 0,125 ml yang di suntikkan pada punggung sebelah kiri, selanjutnya ikan dikembalikan lagi ke kolam.
Pada jam 00.30 wita dilakukan pertilisasi buatan, ikan betina yang telah di suntik diangkat dari kolam, dan juga satu ikan jantan (tidak dilakukan penyuntikan). Yang di striping pertama kali adalah ikan betina dan telurnya di tampung di baskom yang berukuran sedang, lalu selanjutnya ikan jantan di striping dan spermanya di tampung di wadah yang berdeda yaitu berupa mangkuk, sperma di campur dengan NaCl 9% untuk memperlama kehidupan sel sperma.
Setelah kedua ikan di striping ikan dikembalikan lagi ke kolam. Sperma yang telah tercampur dengan NaC l 9% dicampurkan dengan telur dan diaduk secara hati-hati sampai merata baru ditambahkan aquades. Namun pada saat penambahan aquades berselang beberapa menit telur ikan karper menggumpal karena sifatnya yang lengket. Dalam tempo 24-36 jam telur akan menetas sejak terjadinya fertilisasi (Santoso, 1993 dalam Al-Ambony, 2008).
Sifat lengket telur ikan karper ini diusahakan hilang dengan menggunakan lumpur yang telah di encerkan namun tidak berhasil sehingga fertilisasi buatan dinyatakan gagal. Pengamatan selanjutnya tentang perkembangan telur dilakukan dengan menggunakan hasil fertilisasi kelompok 3 yang menggunakan ikan lele.

4.3 Perkembangan Telur
Waktu pengamatan Fase perkembangan Gambar Keterangan
03.00 – 03.30 Persiapan pembelahan


Salah satu ujung telur menonjol
04.00 pembelahan pertama



Warna kuning pada telur semakin ketengah
05.00 Pembelahan 4 sel




Warna merah pada bagian ujung
Ada bintik hitam tebal ditengah
05.30 Pembelahan 8 sel



Kuning telur hamper menyeluruh
06.00 Fase morula




Kuning telur mulai keluar dari cangkang
07.00 Morula awal



Terjadi perubahan warna pad bagian bawah kuning telur
07.30 Morula akhir



Warna kuning pada telur semakin banyak dan tebal
09.30 Fase blastula
Telur berwarna kuning kehijauan bercampur merah pada bagian pinggir telur
10.30-20.00 Fase gastrula Terbentuk bagian sel yang menebal
Mulai bergerak
21.00-23.00 embriogenesis Mulai terbentuk organ
Bergerak namun lambat
30 mei
jam 00.30 wita Menetas (larva) Gerak semakin cepat
memberontak

Kegiatan penetasan telur diawali dengan penebaran telur secara merata pada wadah penetasan. Dalam pelaksanaan kegiatan penetasan telur parameter kualitas air harus di jaga terutama suhu, kecerahan, dan kandungan oksigen terlarut. Telur ikan akan menetas dalam jangka waktu 20-36 jam (Hengky, 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan dalam praktikum, ternyata telur ikan lele menetas 24 jam setelah pertilisasi. Dalam proses penetasan telur ikan lele saat pengamatan pada 3 jam setelah pertilisasi telur menandakan gejala persiapan pembelahan, pembelahan pertama terjadi 1 jam kemudian, pembelahan kedua juga terjadi 1 jam setelah pembelahan pertama, dan pembelahan ketiga terjadi 30 menit setelah pembelahan ke dua. Fase morulla terlihat pada jam 06.00 yaitu lima setengah jam setelah pertilisasi, diikuti fase morulla awal 1 jam kemudian, dan seterusnya diikuti dengan masuknya ke fasu morulla akhir 30 menit kemudian.
Pada stadia morula perkembangan embrio sangat sensitive terhadap goncangan dan sel tersebut mudah lepas dari permukaan, sehingga menyebabkan kematian dari embrio. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur berbeda pada tiap spesies. Waktu yang dibutuhkan juga tergantung dari suhu selama inkubasi dan suplai oksigen pada awal perkembangannya. Kekurangan oksigen pada masa perkembangan embrio dapat mematikan embrio. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan penetasan yang premature sehingga embrio tidak dapat bertahan hidup.
Fase blastrulla terjadi 9 jam setelah pertilisasi dan fase gastrula terjadi 10 jam setelah pertilisasi yaitu pada jam 10.30 wita dan berlangsung sampai jam 20.00 wita. Pada jam 21.00 sampai dengan jam 13.00 wita berlangsung fase embryogenesis dan tanda-tanda kehidupan sudah mulai jelas terlihat pada telur ikan lele. Sekitar dua setengah jam setelah fase embryogenesis telur ikan lele menetas dan memasuki stadia larva. Penetasan merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan terjadi karena ada dua hal yaitu kerja mekanik, oleh karena embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkannya, atau karena embrio telah lebih pajang dari lingkungannya dalam cangkangnya (Anonim, 2011).
5. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat di tarik dari pembahasan hasil praktikum teknik pembenihan ikan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menentukan jenis kelamin ikan bawal, ikan komet, dan ikan nila tidak cukup hanya mengandalkan pengamatan seksualitas sekunder saja namun untuk memastikannya dibutuhkan pengamatan fertilisasi primer.
2. Proses fertilisasi buatan ikan karper dilakukan dengan cara striping gonad untuk jantan dan stripping untuk ikan betina.
3. Diusahakan agar telur ikan karper tidak menempel karena dpat mengakibatkan kegagalan dalam proses fertilisasi buatan.
4. Penetasan telur pada ikan lele dumbo terjadi selama 24 jam.
5. Proses perubahan yang terjadi dalam telur sampai menjadi larva terdiri dari fase embrio, yaitu terjadinya proses pembelahan sel, morula, blastula, gastrula, dan akhirnya menetas.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Diinginkan parameter kualitas air untuk kolam lele. http://ces.ca.uky.edu/Aquaculture/files/info/Desirable%20water%20quality%20parameters%20for%20catfish%20ponds.doc

Anonim, 2011. Penetasan Telur Ikan. http://www.scribd.com/doc/32697323/PENETASAN-TELUR-IKAN. 10/06/2011. 17:15 wita

Anonim, 2010. pemeliharaan ikan cupang http://www.aqua fish.net/show.php?h=goldfish1.pemeliharaan ikan cupang.

Anonim, 2011. Tambaqui. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Tambaqui. 08/06/2011. 24.57 wita

Anonim, 2011. IKAN MAS (Cyprinus carpio, L.). http://nehiaquaculture.blogspot.com200905ikan-mas-cyprinus-carpio-l.html. 10/06/2011. 15.30 wita

Anonim, 2011. Ikan mas. http://id.wikipedia.orgwikiIkan_mas. 10/06/2011. 15.50 wita

Anonim, 2011. Ikan Bawal Adalah Ikan Import Dari Brasil Yang Sekarang Semakin Populer. http://pemancing.com/ikan-bawal, 07/06/201. 23.53 wita



Bowser, Paul R. 1999. Disease Of Fish. Departemen Of Microbiology and Immunology College of Veterinary Medicine Cornell University Ithaca, New York

Firdaus, R, 2010. Pembenihan Ikan Koi Cyprinus carpio Di Kelompok Tani Sumber Harapan, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Program studi teknologi dan manajemen perikanan budidaya departemen budidaya perairan fakultas perikanan dan ilmu kelautan institut pertanian bogor.

Hengky, J.S. 2011. Teknologi Produksi Benih Ikan Nila Jantan. http://hobiikan.blogspot.com/2009/02/teknologi-produksi-benih-ikan-nila.html. 07/06/2011 24.59 wita

Juliahasni. 2008. Budidaya Ikan Nila. http://juliahasni.wordpress.com/ diakses tanggal 18 Desember 2010, pukul 20.19 wita

Khairuman, 2008. Budidaya Ikan Bawal Air Tawar. AgroMedia Pustaka. Jakarta.


Patoeah. 2010. Budidaya Ikan Nila. http://www.scribd.com/doc/3089787/ikan-nila diakses tanggal 18 Desember 2010, pukul 20.19 wita

Wira, 2011. Pembenihan Ikan Bawal Air Tawar. http://maswira.blogspot.com/search/label/aqua culture. Diakses 6 juni 2011.

Yuliati, S, 2010. Ikan Komet (Carassius auratus auratus, red.). http://diskanlut-ateng.go.idindex.phpreadnewsdetail77.htm. 08/06/2011. 01.09 wita

TEKNIK BUDIDAYA PAKAN ALAMI

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK BUDIDAYA PAKAN ALAMI

Kultur Nannochloropsis sp. dan Artemia sp.

Oleh:
PUJI NUR PARIDI
C1K 008 06

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MATARAM
2011



PENDAHULUAN

Nannochloropsis sp.
Nannochloropsis oculata (eustigmatophyceae) yang lebih dikenal dengan nama chlorella Jepang (Maruyama et al., 1986), merupakan sel berwarna kehijauan, tidak motil, dan tidak berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran sedang dengan diameter 2-4 μm, tergantung spesiesnya, dengan chloroplast berbentuk cangkir. Organisme ini merupakan divisi yang terpisah dari Nannochloris karena tidak adanya chlorophyl b. Selnya bereproduksi dengan membentuk dua sampai delapan sel anak didalam sel induk yang akan dilepaskan pada lingkungan. Penggunaan mikroalga N.oculata secara komersial antara lain sebagai bahan makanan, energy biomassa, pupuk pertanian, dan industry farmasi karena mikroalga ini mengandung protein, karbohidrat, lipid, dan berbagai macam mineral (Cresswell, 1989). Selain itu Nannochloropsis oculata merupakan pakan yang populer untuk rotifer, artemia, dan pada umumnya merupakan organisme penyaring ( Renaud, 1991).


Gambar. Nannochloropsis sp.

Pertumbuhan sel Nannochloropsis oculata sangat dipengaruhi oleh tiga komponen penting untuk tumbuh, yaitu cahaya, karbon dioksida dan nutrien. Nannochloropsis oculata adalah salah satu tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi cahaya dan CO2 untuk keperluan fotosintesis. Cahaya mempunyai pengaruh langsung dalam proses fotosíntesis dan
pengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan dan perkembangan. Kurangnya intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh mikroalga untuk aktivitas fotosíntesis akan menyebabkan proses fotosíntesis tidak berlangsung normal sehingga menggangu biosíntesis sel selanjutnya. Untuk itu intensitas cahaya sangat diperlukan oleh mikroalga untuk menjalankan proses fotosíntesis (Diharmi, 2001).
Menurut Cahyaningsih dkk (2006), untuk kultur mikroalga semi massal maupun massal dengan ruang terbuka intensitas cahaya lebih baik diberikan dibawah 10.000 lux. Sedangkan didalam ruang kultur intensitas cahaya yang dibutuhkan mikroalga berkisar antara 500 hingga 5000 lux (Taw, 1990). Selain itu, pertumbuhan Nannochloropsis oculata juga dipengaruhi oleh suhu, pH dan salinitas. Nannochloropsis oculata dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25oC- 30 oC, pH 8 - 9,5, dan salinitas 30-32 ppt (Converti, 2009; Fogg, 1987).
Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa mikroalga mengalami
perubahan komposisi biokimia ketika kondisi-kondisi kultur bervariasi. Perubahan-perubahan biokimia terbesar dihubungkan dengan rendahnya kandungan nitrogen di dalam media biakan yang menyebabkan penurunan protein
mikroalga dan peningkatan kandungan lipid dan karbohidrat yang cukup besar (Renaud, 1991). Chisty (2007), memberikan contoh beberapa spesies mikroalga yang dikultur pada kondisi yang berbeda akan menghasilkan perbedaan kandungan nilai proximat dan komposisi lipid seperti; Chlorella memiliki kandungan lipid 28- 32 persen, Dunaliella primolecta (23 persen), Isochrysis galbana (25-33 persen), dan Nannochloropsis oculata. (31-68 persen). Sappewali
(2009), melakukan kultur Tetraselmis chuii pada intensitas cahaya 2000 lx, 3000 lx dan 4000 lx diperoleh prosentase lipid tertinggi sebesar 15,02 % pada intensitas cahaya 4000 lx, 11,88% pada intensitas 3000 lx, dan 11,34 % pada intensitas 2000 lx. Selanjutnya Diharmi, (2001), melakukan kultur spirulina pada berbagai intensitas cahaya, yaitu 2000 lux, 3000 lux, dan 4000 lux, kandungan biomassa tertinggi diperoleh pada kultur dengan intensitas 4000 lux. Demikian pula oleh Harsanto (2009), melakukan kultur Nannochloropsis oculata semi massal outdoor pada intensitas cahaya 9000 lux diperoleh prosentase lipid total sebesar 36%.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas, Cahaya merupakan sumber energi utama dalam fotosisntesis, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses pertumbuhan mikroalga pada umumnya dan pada khususnya terhadap pertumbuhan Nannochloropsis oculata. Energi yang diberikan oleh cahaya bergantung pada intensitas cahaya, dan lamanya pencahayaan. Intensitas cahaya optimum sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan produksi biomassa. Dimana
produksi biomassa yang tinggi diharapkan mampu menghasilkan lipid dengan konsentrasi yang tinggi.

Artemia sp.
Artemia atau “brine shrimp” merupakan salah satu jenis pakan alami yang sangat diperlukan dalam kegiatan pembenihan udang dan ikan. Beberapa sifat artemia yangmenunjang antara lain :
Mudah dalam penanganan, karena tahan dalam bentuk kista untuk waktu yang lama.
Mudah berada ptasi dalam kisaran salinitas lingkungan yang lebar.
Makan dengan cara menyaring, sehingga memper mudah dalam penyedian pakannya.
Dapat tumbuh dengan baik pada tingkat padat penebaran tinggi.
Mempunyai nilai nutrisi tinggi, yaitu kandungan protein 40 – 60%.
Klasifikasi dari Artemia menurut Anonim (2011) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Branchiopoda
Order : Anostraca
Family : Artemiidae
Genus : Artemia sp.
Bagian-bagian dari dari tubuh Artemia yaitu terlihat dari gambar yang terdapat di bawah ini:


Gambar: Bagian-bagian tubuh Artemia

Proses reproduksi dari Artemia
Siklus hidup Artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15-20 jam pada suhu 25 derajat selsius kista akan menetas menjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan tetap menyelesaikan perkembanganya kemudian berubah menjadi naupli yang akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli aka berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut, dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikroalga, bakteri, dan detritus organic lainya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak memilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia dalam air dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam kurun waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 cm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapai 500 kali dibandingkan biomas pada fase naupli.


Gambar: Siklus hidup Artemia

Dalam tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, betina Artemia bias menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-11 kali. Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungnya berubah menjadi sangat kritis dan bahan pakan sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam. Artemia dewasa toleran terhadap selang -18 derajat hingga 40 derajat. Sedangkan temperature optimal untuk penetasan kista dan pertumbuhan adalah 25-30oC. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30-35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar selama 5 jam sebelum akhirnya mati. Variable lain yang penting adalah pH, cahaya, dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi perumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia.
Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan artemia. Artemia dengan supply oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dah beranak-pinak dengan cepat. Sehingga suplay Artemia untuk ikan yang kita pelihara bias terus berlanjut secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organic, atau apabila salinitas meningkat, artemia akan memakanbacteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka akan berwarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista. (Anonymous, 2011).



2. PROSEDUR PRAKTIKUM

2.1 Budidaya Fitoplankton Nannochloropsis sp.
Adapun prosedur yang dilaksanakan di dalam budidaya fitiplankton Nannochloropsis sp. Adalah sebagai berikut:
Diasiapkan wadah kultur berupa akuarium.
Dibuat sekala ketinggian permukaan air (dalam cm) pada akuarium hingga diperoleh sekala yang menunjukkan volume air media dalam satuan cm. untuk mendapatkan satuan volume air tersebut digunakan rumus sebagi berikut:
Ingatlah, 1 liter = 1000 ml = 1000 cm3 =1000 cc
Maka untuk menentukan ketinggian air agar tiap polume 1 liter dapat di hitung sebagai berikut :
Volume= panjang x lebar x tinggi
Sehingga didapatkan setiap 1ooo cm3 = 1 liter air.
Ditentukan kepadatan awal fitiplankton yang diinginkan (10 liter x 106 sel/ml) dan volume total kultur yang akan di lakukan (10 liter = 10000 ml = 10000 cm3).
Setelah ditentukan kepadatan awal dan volume total media kultur, selanjutnya dihitung total jumlah sel fitoplankton yang dibutuhkan agar mencapai kondisi kepadatan awal dalam volume total media 10 liter.
Dihitung kepadatan bibit fitiplankton dalam stok pakan alami yang telah di siapkan (keoadatan fitoplankton dalam stok 120 juta sel/ml).
Dihitung volume plankton yang akan di ambil dari stok agar memenuhi jumlah total sel agar mencapai kondisi kepadatan awal dalam volume total 10 liter.
Digunakan rumus :

V2 = N2/kepadatan fitoplankton dalam stok

Keterangan:
V2 = volume plankton yang di ambil dari stok.
N2 = jumlah sel yang di butuhkan.
Dimasukkan media air laut steril ke dalam akuarium sebanyak 9,92 liter.
Diukur salinitas air laut (salinitas yang akan digunakan 25 ppt). Bila salinitas tidal sesuai dapat diatur dengan menambahkan ataupun mengurangi air laut dengan menggunakan rumus pengenceran sebagai berikut :
N1 * V1 = N2 * V2
Keterangan:
N1 = salinitas awal
V1 = volume air pada awal salinitas
N2 = salinitas yang di inginkan
V2 = volume air dengan salinitas yang di inginkan.
Dilakukan pemupukan pada media kultur yaitu yaitu dengan menggunakan TSP = 10 ppm, urea = 40 ppm, dan ZA = 50 ppm.
Diatur posisi sumber cahaya agar media mendapat paparan cahaya yang cukup.
Dimasukkan bibit nannochloropsis sp. Ke dalam wadah sebanyak 0.08/liter.
Media diberi aerasi sedang.
Diamati dan di catat kepadatan fitoplankton pada hari hari berikutnya, yaitu hari ke-1, ke-2, dan ke-3. Pengamatan kepadatan di mikroskop dilakukan dengan menggunakan media preparat berupa haemocytometer.

2.1 Budidaya Zooplankton Artemia sp.
Adapun prosedur yang dilaksanakan di dalam budidaya Zooplankton Artemia sp. Adalah sebagai berikut:
Disiapkan media kultur berupa tabung kerucut yang di bawahnya telah di lubangi untuk memudahkan pemanenan.
Di isi media dengan air lau yang telah di saring sebanyak 5 liter.
Dihitung jumlah berat kista artemia sp. Dengan ketentuan berat ideal 0,5 gr/liter. Sehingga berat kista artemia yang di butuhkan dalam 5 liter air adalah:
0.5 gr/L X 5 L = 2,5 gr/L
Jadu berat kista artemia yang dibutuhkan untuk 5 liter media kultur adalah 2,5 gr.
Direndam kista artemia dengan air media kultur selama 1 jam.
Dimasukkan kista artemia ke dalam media kultur dan diberi aerasi agak kuat.
Diamati dan di catat perubahan artemia setelah 18 jam.




3. HASIL PRAKTIKUM

3.1 Kultur Nannochloropsis sp.
Jenis wadah yang digunakan dalam kultur Nanochloropsis sp. Berupa akuarium berbentuk kubus. Dimana, telah diketahui ukuran akuarium: Panjang = 29,5 cm, Lebar = 29,5 cm, dan Tinggi = 30 cm. Untuk mendapatkan volume 1 liter air, maka cm ketinggian air dalam wadah adalah :
V = P x L x T
V = 29,5 cm x 29,5 cm x T
V = 870,25 cm x T
1000 cm^3 =870.25 cm x T
T= 1000/870.25=1,15 cm
Kesimpulan : menggunakan wadah akuarium dengan luas dasar 870,25 cm, maka pemasukan 1 liter air akan mencapai pada ketinggian 1,15 cm dan kelipatannya. Bila ingin menggunakan air media sebangak 10 liter maka ketinggia air adalah :
Ketinggian air = 1,15 cm x 10
= 11,5 cm
Jadi ketinggian air dalam wadah untuk 10 liter adalah 11,5 cm.
Dengan diketahui kepadatan bibit fitoplankton dalam stok pakan, maka dapat dilakukan perhitungan volume plankton yang perlu diambil dari stok tersebut agar memenuhi jumlah total sel. Rumus yang dapat digunakan adalah :
〖 V〗_2=N_2/(kepadatan fitoplankton)
〖 V〗_2=(1000 ml x 〖10〗^6)/(120 x 〖10〗^6 )
〖 V〗_2=83 ml=0,8 liter

Jika N2 = 10.109 sel/ml, dan kepadatan fitoplankton = 120.106 sel/ml, maka :
〖 V〗_2=83 ml=0,8 liter
Setelah diketahui kebutuhan bibit sebanyak 83 ml atau 0,8 liter, maka volume media air laut yang perlu disediakan dengan volume kultur 10 liter adalah : 10 liter – 0,9 liter = 9,92 liter.
Pada kultur Nannochloropsis sp. ini, dibutuhkan air laut dengan salinitas optimum 25 ppt. Sedangkan salinitas air laut yang diperoleh adalah 31 ppt. Untuk mencapai salinitas optimum tersebut, maka dilakukan penambahan air tawar dengan menggunakan rumus pengenceran yaitu:
N1 . V1 = N2 . V2
Volume media kultur (V2) diketahui 9,92 liter.
Volume air laut yang perlu dipertahankan yaitu :
31 ppt x V_1= 25 ppt x 9,92
V_1= 248/31=8 liter air laut
Volume air tawar yang ditambahkan yaitu :
= V2 – V1
= 9,92 – 8
= 1,92 liter air tawar
Setelah perhitungan volume media kultur dilakukan, maka dilanjutkan dengan pemupukan yang bertujuan untuk menumbuhkan plankton. Pupuk yang digunakan ada 3 campuran jenis pupuk, yaitu TSP, Urea, dan ZA. Konsentrasi pupuk berturut – turut adalah 10 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm. Untuk mendapatkan dalam berat gram, dilakukan perhitungan sebagai berikut :
TSP = 9,92 L x 10 ppm = 99,2 mg = 0,0992 gram
Urea = 9,92 L x 40 ppm = 396,8 mg = 0,396 gram
ZA = 9,92 L x 50 ppm = 496 mg = 0,496 gram

Data kepadatan harian setelah teknik budidaya
Tabel. Data Kepadatan Harian Plankton Nanochloropsis
Jumlah Plankton (sel/ml)
1 1.200.000
2 1.250.000
3 1.500.000

Grafik Kepadatan Harian Plankton Nanochloropsis

Analisis Data
Pengamatan ke – 1
Jumlah plankton= (4+8+5+3+4)/5 x 25 x 〖10〗^4
= 24/5 x 25 x 〖10〗^4
=120 x 〖10〗^4 sel⁄ml

Pengamatan ke – 2
Jumlah plankton= (5+6+5+5+4)/5 x 25 x 〖10〗^4
= 25/5 x 25 x 〖10〗^4
=125 x 〖10〗^4 sel⁄ml

Pengamatan ke – 3
Jumlah plankton= (6+5+6+6+5)/5 x 25 x 〖10〗^4
= 28/5 x 25 x 〖10〗^4
=150 x 〖10〗^4 sel⁄ml

Dari hasil praktikum kultur Nannochloropsis sp. Didapatkan data pertumbuhan pada hari ke-1 sebanyak 1.200.000 sell/ml, hari ke-2 sebanyak 1.250.000 sell/ml, dan hari ke-3 sebanyak 1.500.000 sell/ml. hal ini menandakan pertumbuhan Nannochloropsis sp.baik karena setiap hari jumlahnya bertambah.

Kultur Artemia sp.
Saat mengkultur Artemia sp. volume air lau yang dugunakan adalah 5 liter dengan salinitas 31 ppt. Dengan ketentuan berat kista Artemia sp. ideal 0,5 gr/liter. Sehingga berat kista artemia yang di butuhkan dalam 5 liter air adalah:
0.5 gr/liter X 5 liter = 2,5 gr
Jadi berat kista artemia yang dibutuhkan untuk 5 liter media kultur adalah 2,5 gr.
Pada saat pengamamatan ke-1 didapatkan artemia yang menetas sebanyak 4,34%, yang belum menetas sebangak 52,7%, dan yang telah memasuki fase parasut sebanyak 43,7%.
Pada pengamatan ke-2 didapatkan artemia yang menetas sebanyak 47,45%, yang belum menetas sebanyak 44,07%, dan yang telah memasuki fase parasut sebanyak 8,47%.
Artemia sp. Yang sudah menetas dapat di panen dengan cara membuka penutup/penjepit selang yang terdapat pada media kultur, sehingga Artemia sp. terbawa turun oleh aliran air.



KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat di tarik dari pembahasan di atas adalah:
Pertumbuhan Nannochloropsis sp. Baik sampai dengan hari ke-3
Peranan cahaya sangat penting untuk kehidupan Nannochloropsis sp.

4.2 Saran
Adapun saran yang diajukan guna memperbaiki praktikum berikutnya adalah waktu praktikum diharapkan bias dilakukan pada saat sebelum MID semester untuk mencegah terjadinya penumpukan jadwal praktikum yang dapat menyebabkan siswa kewalahan.



SUMBER PUSTAKA

Anonim, 2011. Artemia Salina. http://www.o-fish.com/PakanIkan/artemia.php. Diakses 17/06/2011. Jam 16:52 wita.

Maruyama et al. (1986), “Identification of The Alga Known as ‘Marine Chlorella’ As a Member of The Eustigmatophyceae”, Jpn. J. Bot, Vol. 34, hal. 319-325.

Cresswell, R.C, Rees, T dan Shak,N. (1989), Algae and Cyanobacterial Biotechnology, Mc Graw Hill, London.

Renaud, S.M., Parry, D.L. (1991), “Effect of Light Intensity on The Proximate Biochemical and Fatty Acid Composition of Isohrysis sp. And Nannochloropsis oculata For Use in Tropical Aquaculture”, Journal of Applied Phicology, Vol. 3, hal. 43-53.

Diharmi Andarini (2001), Pengaruh Pencahayan Terhadap Kandungan Pigmen Bioaktif Mikroalga Spirulina Platensis Strain Local (Ink), Tesis Magister, IPB, Bogor.

Taw. (1990), Petunjuk Kultur Murni dan Massal Mikroalga. UNDP. FAO.
Converti Attilio, Casazza, A.A., Ortiz, E.Y., Perego Patrizia, Borghi, M.D. (2009), “Effect of temperature and Nitrogen Consentration on The Growh and lipd content of Nannochloropsis oculata and Chlorella vulgaris for Biodiesel Production” , Chem. Eng. Process.
Fogg, G. E. (1987), Algal Cultures adan Phytoplankton Ecology, The Univercity of Wiconsin Press, Medison.
Chisti Yusuf (2007), “Biodiesel From Microalgae”, Biotechnology Advances, Vol. 25, hal. 294-306.
Sappewali dan Surya Rosa Putra (2009), “Penentuan intensitas Cahaya Optimum Pada Pertumbuhan dan Kadar Lipid Mikroalga Tetraselmis chuii”, Prosiding Seminar Nasional Kimia XI (SENAKI XI), Eds: Didik Prasetyoko, dkk., Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, hal. 202-209.
Harsanto Soni dan Surya Rosa Putra (2009), “Analisis Asam Lemak Mikroalga Nannochloropsis Oculata”, Prosiding Seminar Nasional Kimia XI (SENAKI XI), Eds: Didik Prasetyoko, dkk., Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, hal. 210-217.